Beranda | Artikel
Tiga Celaka Bank Syariah Kita
Minggu, 1 Januari 2017

Tiga Celaka Bank Syariah Kita

Minimnya diferensiasi bank syariah membuat masyarakat terang-terangan menyamakannya dengan bank konvensional. “Apa bedanya dengan bank konvensional? Tidak ada!” Atau “Sama saja dengan bank lainnya.”

Oleh Budhi Wuryanto

Koran Tempo, edisi 26 Desember 2011 memuat berita ini hanya dua alinea di rubrik Kilas. Nyempil di pojok kiri-bawah halaman Bisnis/Finansial. Judulnya “Bank Syariah Kembangkan Kartu Kredit”. Meski singkat, makna berita ini sungguh luar biasa. Maksud saya, luar biasa jauhnya bank syariah kita telah menyimpang dari “sesuai dengan syariah”.

Dalam berita itu, Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Waktu itu, Mulya E. Siregar mengungkapkan, perbankan syariah bersama Dewan Syariah Nasional dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam tengah mengkaji pengembangan produk-produk baru industri syariah. Dua produk sedang disiapkan. Yaitu kartu kredit atau kredit tanpa agunan syariah. Kartu kredit ini lebih diarahkan sebagai pembiayaan modal kerja sektor produktif, yakni usaha mikro dengan batasan plafon tertentu. Bank syariah juga mengembangkan produk pencadangan dari bagi hasil investasi. Fatwa mengenai itu tengah disiapkan.

Melalui Facebook, masih di hari koran itu terbit, teman saya melontarkan komentar: “Kegelapan atas kegelapan—nauzubillah min dhalik.”

Itulah celaka pertama bank syariah kita: masih juga miskin diferensiasi. Kedua produk yang direcanakan itu maksudnya mungkin bagian dari upaya bank syariah memperkaya diferensiasi produknya. Eh, kok ya jatuhnya makin menjauhkannya dari “sesuai dengan syariah”. Bukankah dua produk tadi juga membuktikan bahwa hampir tidak ada beda yang jelas pada produk, jasa, dan praktek antara bank syariah dan bank konvensional?

Padahal akibat minimnya diferensiasi, masyarakat luas terang-terangan menyamakan bank syariah dengan bank konvensional. “Apa bedanya dengan bank konvensional? Tidak ada!” Bahkan ada yang sinis menilai “Sama saja dengan bank lainnya.” Yang lain menilai, “Belum juga benar-benar syar’i. Katanya tanpa bunga, kok tambah banyak ribanya, ya?”

Melalui buku karyanya, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarya Menuju Muamalat (Penerbit Delokomotif, Yogyakarta; Mei 2010), Zaim Saidi bukan hanya mengkritisi bank syariah kita. Namun juga menelanjangi berbagai penyimpangan konseptual dan praktikal dari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran yang konon hendak ditegakkannya. Zaim Saidi menunjukkan perbankan syariah kita sama sekali tidak sesuai, dan menyimpang dari hukum muamalat.

Dalam endorsment untuk buku itu, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Revrisond Baswir bahkan mengingatkan khalayak akan adanya bahaya lain yang tak kalah seriusnya. “… Melalui manipulasi syariah, para pengusung bank syariah di Indonesia tidak menyadari bahwa mereka sedang menyeret umat Islam ke dalam jebakan neokolonialisme …,” kata Revrisond Baswir.

Dua Celaka Lainnya

Di Indonesia, negeri yang hampir 90 persen penduduknya Muslim–dari sekitar 230-an juta jiwa, bank-bank syariah kita seharusnya bisa tumbuh bongsor. Nyatanya, bank syariah kita kuntet (kerdil). Pertumbuhannya tidak normal.

Memang ada yang mengklaim, pertumbuhannya pesat. Bahkan paling pesat dibandingkan di kawasan lain. Namun harus diakui, pertumbuhan bank syariah kita tidak selaju bank konvensional. Kalau asetnya kita bandingkan, bank kovensional besarnya seperti gajah (aset per akhir April 2011 mencapai sekitar Rp 2.700 trilyun!). Sementara bank syariah cuma seukuran kambing (per Oktober 2011 total asetnya hanya Rp 130,5 trilyun).

Potensi pasarnya gede. Tapi tak mampu tumbuh maksimal. Tidak mampu memanfaatkan potensi pasar di depan mata: sekitar 200 juta penduduk Muslim! Kalau tidak karena potensi pasar yang demikian besar itu tentu bank-bank konvensional tidak merambah ke ranah bisnis perbankan syariah. Bayangkan, hampir semua bank konvensional telah memiliki unit usaha syariah atau mendirikan bank umum syariah. Bukan hanya bank nasional. Bank asing pun menghadirkan unit syariah atau bank umum syariahnya di Indonesia.

Mengapa? Jawabannya masih terkait dengan celaka yang pertama. Yakni, solusi bagi riba yang merajalela dari perbankan konvensional ternyata tidak menyeret umat Islam ke bank syariah. Inilah celaka kedua bank syariah kita.

Celaka ketiga: pemerintah kita tidak meyiapkan regulasi dan mengarahkan pengembangan bank syariah kita secara tepat.

Yap, benar. Memang tidak adil membandingkan bank syariah dan bank konvensional head to head begitu. Bank syariah di negeri ini ‘kan secara resmi hadir baru belasan tahun. Sementara bank konvensional sudah puluhan, bahkan, sudah eksis ratusan tahun. Eksistensi bank syariah kita baru sampai tahap edukasi pasar. Sementara bank konvensional sudah sampai tahapan “membuat kecanduan”.

Muncul klaim bahwa bank syariah kita bisa tumbuh sampai tahapan sekarang ini semata karena inisiatif pengembangan yang justru datang dari industri bank syariah sendiri. Bukan dari pemerintah. Agar kontras, Malaysia bisa kita jadikan sebagai pembanding. Pemerintah negeri jiran ini menyiapkan regulasi dan mengarahkan pengembangan bank syariah secara tepat. Sedangkan pemerintah kita tidak. Malaysia antusias menarik investor dari Timur Tengah untuk mengembangkan perbankan syariah di negaranya. Di Indonesia, langkah itu minimal.

Tidak perlu sampai cekala duabelas. Dengan tiga celaka tadi, orang Brebes dan Tegal bilang, cilaka mencit; cilate teman—benar-benar celaka. Kasihan, ya.**


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5698-tiga-celaka-bank-syariah-kita.html